Cibinong – Humas BRIN. Indonesia menempati urutan ke-37 dalam produktivitas kentang di dunia. Jika dibandingkan dengan Cina, luas area perkebunan kentang di Indonesia hanya sepersepuluh dari luas area di Cina. Volume impor kentang Indonesia hanya sepersepuluh dari total produktivitas kentang dalam negeri.
Peneliti Ahli Madya Pusat Riset Hortikultura, Organisasi Riset Pertanian dan Pangan, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Kusmana menyebutkan saat ini dari 100% kebutuhan kentang di Indonesia, 90% nya yang merupakan kebutuhan kentang sayur telah mampu dipenuhi dari produksi dalam negeri.
“Sisanya, sekitar 10% kebutuhan nasional masih bergantung pada impor kentang industri dengan komposisi 50% berupa french fries (kentang goreng), 30% untuk bahan baku industri keripik dan sisanya untuk produk olahan lain seperti tepung kentang, mashed potato (kentang tumbuk), potato wedges (biji kentang), dan lain sebagainya,” papar Kusmana dalam Webinar HortiActive#15 pada Selasa, (22 /04).
Menurut Kusmana asal usul kentang sendiri berasal dari Peru, tepatnya di Pegunungan Andes pada ketinggian 4.800 meter di atas permukaan laut. Oleh karena itu, tanaman ini sangat adaptif terhadap lingkungan pegunungan atau daerah beriklim dingin. Di Indonesia sentra produksi kentang telah dibudidayakan di 12 provinsi, dengan lebih dari 60% produksinya terkonsentrasi di Pulau Jawa, terutama di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
Berdasarkan kegunaannya, umbi kentang terbagi menjadi dua yaitu untuk sayur dan industri. Kentang sayur biasanya memiliki karakter dengan rasa yang pulen, daging dan kulit umbinya kuning, bentuk umbi oval, kulit umbi halus, mata dangkal, dan kandungan pati tidak terlalu tinggi, serta kadar airnya relatif tinggi. Sebaliknya untuk kentang industri, patinya harus tinggi, Sg tinggi, gula reduksinya harus rendah, kadar airnya rendah, kurang dari 20 persen, daging umbi putih dan bentuk umbi bisa oval, bulat, untuk keripik, dan panjang untuk french kentang goreng.
Kentang dengan komoditas sayuran lainnya memiliki perbedaan. Jika komoditas sayuran lain memiliki masa ganti varietas 2-3 tahun sekali, maka tidak demikian untuk kentang. Bahkan ada varietas Russet Burbank yang umurnya satu abad, dan itu dipakai untuk McDonald seluruh dunia. Varietas Atlantic dilepas sejak 1976 di Idaho dan untuk varietas kentang granola sendiri mulai diperkenalkan pada tahun 1980. Kemudian di Eropa juga ada varietas Bintje, King Edward, yang masih ada sampai sekarang. Sebetulnya, Varietas Unggul Baru (VUB) kentang yang tahan OPT, dan cocok untuk sayur dan industri sendiri sudah tersedia.
“Kita masih perlu melakukan breeding terkait late blight atau Hawar Daun karena penyakit ini merupakan penyakit utama. Late blight juga pernah menyebabkan great hunger di Irlandia pada tahun 1945, yang menyebabkan jutaan orang meninggal karena kentangnya tidak bisa dipanen. Kemudian jutaan penduduk Irlandia lainnya migrasi ke Amerika karena tidak ada makanan lain selain kentang,” jelas Kusmana.
Masih menurut Kusmana, penyakit Phytophthora dapat menyebabkan penghilangan hasil sehingga ada kecenderungan petani menggunakan pestisida secara berlebihan. Daun kentang yang seharusnya hijau menjadi biru karena terpapar oleh bahan kimia.
Petani biasanya menyemprot kentang untuk mengendalikan penyakit hawar daun sampai 30 kali selama pertumbuhan. Pestisida yang digunakan untuk menyemprot penyakit hawar daun diperkirakan antara Rp400.000 sampai Rp500.000 untuk sekali semprot. Ketika tidak ada penyakit hawar daun, produktivitas kentang menjadi tinggi. Untuk itu, penggunaan resisten varietas sangat direkomendasikan untuk menurunkan penyakit hawar daun.
Dari penelitian yang dilakukan Kusmana dan tim, maka direkomendasikan untuk resisten varietas dapat diperoleh dari kentang spesies liar seperti S. mochiquense, S. bulbocastanum, S. ventury dan sebagainya. Dan pada 2010 mereka memperoleh beberapa sumber genetik, sumber ketahanan terkait Phytophthora yang cocok untuk highland tropic, late-blind resistant, dengan populasinya B3. Di antara populasi tersebut untuk jenis B3 ACT telah menjadi beberapa varietas di Indonesia.
“Dari kegiatan ini dapat disimpulkan bahwa untuk metode pemuliaan kentang bisa melalui backros, pedigree, seleksi recurrent, dan progeny testing. Kemudian untuk kendala pemuliaan ada perbedaan ploidy, inkompatibilitas, sulit berbunga dan sterilitas,” pungkasnya. (tg,dnp/ed: sl, aps)
https://www.brin.go.id/news/122780/dukung-ketersediaan-bahan-baku-industri-peneliti-brin-jelaskan-pemuliaan-kentang-konvensional